Solanin — Tentang Menjadi Dewasa, Perpisahan, dan Melangkah Maju Melewatinya.

bike
12 min readSep 21, 2023

--

Agustus kemarin aku akhirnya membaca dan menyelesaikan Solanin, manga karya Inio Asano yang terkenal dengan Goodnight Punpun-nya dan beberapa judul lain seperti A Girl on The Shore dan Dead Dead Demon’s Dededede Destruction.

Mungkin kedengerannya agak lebay, tapi aku benar benar percaya kalau pertemuanku dengan Solanin itu takdir.

Bagaimana tidak, di saat aku sedang menjelajah toko buku untuk menenangkan diri kala dihantam oleh patah hati dan ketidakpastian akan masa depan secara bersamaan, di jejeran rak manga aku melihatnya: Solanin versi special edition yang baru saja rilis akhir-akhir ini. Jujur beberapa kali di Twitter aku melihat perbincangan di antara penggemar maupun kolektor manga tentang rilisan baru untuk Solanin, tapi entah kenapa melihat nama Inio Asano, aku tidak tertarik. Satu-satunya karya beliau yang pernah aku baca sebelumnya adalah Goodnight Punpun, dan aku secara pribadi tidak terlalu suka dengan apa yang Inio Asano bawakan lewat manga itu. Mungkin karena moodku yang sedang tidak pas saat itu, atau seleraku yang memang biasanya lebih suka cerita-cerita yang ringan, nama Inio Asano lumayan tercoreng dari daftar mangaka yang aku ingin baca karya-karyanya.

Tapi entah kenapa, something inside just pushes me to buy Solanin back then. Mungkin karena covernya yang apik dan tak biasa jika dibandingkan dengan manga lain, atau iming-iming “Special Edition” yang terasa prestisius pada cover-nya, atau bahkan (dan yang paling mungkin sih, sebenarnya.) karena tendensiku untuk membeli barang secara impulsif saat sedang merasa tertekan, akhirnya aku memutuskan untuk membeli Solanin bersama beberapa buku lain saat itu.

Toh kalau tidak sesuai selera seperti Goodnight Punpun dulu, setidaknya aku punya satu barang pajangan tambahan untuk dijejerkan di kamar.

Tapi ya, seperti yang sudah kalian tebak…Solanin became more than that. Waktu kedatangannya dalam hidupku begitu pas, di saat aku sedang merasa terombang-ambing oleh kejamnya kehidupan, membaca Solanin terasa seperti dorongan kecil agar aku bisa terus maju ke depan. Makannya, sampai sekarang aku masih percaya kalau pertemuanku dengan Solanin pada saat itu memang sudah ditakdirkan.

Sepertinya cukup disini aku sok-sokan melankolis membahas keadaanku saat pertama membaca manga ini; It’s time to talk about the manga itself, ceritanya, karakternya, dan bagaimana tema yang dibawakan Solanin sangat menginspirasiku untuk terus melangkah dalam hidup, meskipun dihantam terus menerus oleh berbagai rintangan di dalamnya.

Solanin berkisah tentang Inoue Meiko, seorang wanita berumur 24 tahun yang tinggal berdua bersama pacarnya di sebuah apartemen yang ada di pinggiran Tokyo. Setelah lulus kuliah dua tahun yang lalu, dia langsung bekerja sebagai seorang office lady, tapi setelah dua tahun bekerja…dia merasa kalau ada yang kurang di hidupnya.

Sedangkan pacarnya, Naruo Taneda, hanyalah seorang ilustrator pada sebuah kantor surat kabar; itu pun masih dianggap sebagai pekerja sambilan. Dengan pekerjaan yang tidak stabil jika dibandingkan dengan Meiko, sebenarnya Taneda ini…numpang dan agak menjadi beban buat Meiko juga. Sama seperti Meiko, Taneda sendiri juga sebenarnya tidak mencintai pekerjaannya; sejak masa remaja dia mencintai musik dan dalam band yang ia bentuk bersama teman kuliahnya, Katou dan Billy, dia berperan sebagai gitaris sekaligus vokalis.

Suatu hari, sepulang dari kantor, Meiko meminta saran pada Taneda: “Hei, Taneda. Apa aku berhenti kerja saja ya?” Taneda yang saat itu baru bangun tidur, dengan kondisi agak setengah ngelindur menjawab “Berhenti saja, kalau memang itu yang Meiko inginkan.”

Keesokan harinya, Meiko mengirimkan surat mengundurkan diri ke kantornya.

Masalah dimulai dari situ: Setelah dia ‘bebas’ dari hiruk pikuk dunia kerja, bisakah Meiko benar-benar melakukan apa yang dia inginkan, meskipun dia sendiri juga belum yakin apa yang dia ingin lakukan? Juga bagaimana keputusannya yang tiba-tiba ini mempengaruhi hubungan Meiko dengan Taneda? Solanin membahas semua itu dalam kisah Meiko mencari dirinya sendiri di salah satu periode kehidupannya ini.

Solanin pada dasarnya bercerita tentang keraguan, kecemasan, dan kegelisahan yang seseorang rasakan ketika menginjak usia dewasa. Tujuan dan masa depan, semuanya terasa tidak pasti. Setelah bebas dari pekerjaan kantorannya, Meiko merasa ‘lega’, tetapi juga masih dihantui oleh kecemasan-kecemasan akan masa depan yang pelan-pelan akan menghampirinya kalau dia tidak melakukan apa-apa sama sekali.

Agak keluar dari topik barusan, tapi aku suka banget sama cara Inio Asano menggunakan langit untuk menggambarkan suasana hati karakternya. Saat dia masih kerja kantoran, Meiko merasa langit yang ada di atasnya begitu rendah, sempit, dan berat. Menyesakkan dirinya pada saat itu.

Tetapi saat dia akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya, dia melihat langit dari balkon apartemennya dengan penuh kekaguman. Bagaikan dia baru melihat kalau langit bisa setinggi dan seluas itu.

Back to topic, sementara itu, semenjak Meiko berhenti bekerja, Taneda juga penuh dengan rasa kecemasan. Sebagai satu-satunya dalam hubungan mereka yang masih memiliki penghasilan, dia sangat khawatir: Apakah dia dan Meiko masih bisa hidup dengan baik-baik saja mulai dari sekarang? Sure, Meiko masih punya tabungan yang bisa dipakai, tapi tabungan itu akan habis dalam waktu kurang-lebih setahun. Pendapatan Taneda sendiri jelas tidak cukup sama sekali untuk menghidupi mereka berdua; Apakah dia harus bekerja lebih keras lagi? Mencari pekerjaan baru? Atau mungkin…mencoba mengejar mimpinya dulu untuk menjadi seorang musisi yang dikontrak oleh sebuah label?

Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang sebenarnya…masih tidak jelas kapan studinya akan berakhir, aku sangat bisa mengerti dengan perasaan yang dialami Meiko setelah bebas dari pekerjaannya. Terkadang ada rasa ‘kebebasan’ yang dimiliki karena sehari-harinya aku sudah tidak ada kelas yang harus dihadiri, tetapi masih dihantui oleh tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas akhir juga, yang aku yakin kalau diabaikan terlalu lama akan menabrakku bagaikan truk pada suatu hari. Tidak terlalu apel ke apel memang, tapi aku rasa mirip dengan Meiko yang masih dihantui bom waktu berupa tabungan di rekening yang menipis jika dia tidak melakukan apapun dengan hidupnya.

Selain Meiko, aku juga sangat suka dengan penggambaran karakter Taneda. Bagian besar dari manga ini yang sangat aku suka adalah lagu yang Taneda tulis untuk bandnya yang berbagi nama dengan nama manga ini; Solanin. Solanin ditulis Taneda setelah mendapat dorongan dari Meiko untuk menjadi serius dalam bermusik dan mengejar mimpinya. Aku ingin membahas pentingnya lagu ini untuk Meiko nanti, tapi untuk sekarang, aku ingin membahas Taneda sebagai sang pencipta lagu.

Sebelum itu, silahkan dengarkan lagunya sendiri yang dibawakan oleh Asian Kung-fu Generation sembari membaca liriknya:

Bahkan jika kebahagiaan yang rapuh ini berlanjut,
Aku yakin pasti benih-benih yang buruk akan perlahan muncul.
Jadi sekarang, selamat tinggal.

Bagi Taneda, Solanin adalah surat perpisahannya dengan diri sendiri. Dirinya yang terlalu bergantung pada Meiko selama ini. Dirinya yang malas-malasan, ragu akan kemampuan bermusiknya dan terus membuat alasan untuk tidak serius dalam menekuni musik. Juga pada hubungannya dengan Meiko yang kerap menghindari konflik untuk menjaga “kebahagian yang rapuh” walaupun ia tahu bahwa “benih-benih yang buruk akan perlahan muncul” dalam hubungan mereka berdua jika mereka tetap melakukan itu.

Inio Asano dengan begitu apik menuliskan apa yang ada di pikiran Taneda lewat Solanin, dan perubahan dalam cara pikirnya ini pun terlihat dalam tingkah laku Taneda sejak menulis lagu ini: bermotivasi untuk serius dalam menjalankan bandnya (sampai berhenti dari tempat ia bekerja)…walaupun pada akhirnya gagal untuk menarik perhatian record label manapun, kecuali satu yang hanya menawarkan posisi backing band untuk mereka.

Yang pada akhirnya setelah kejadian tersebut, pada suatu hari Taneda mengajak Meiko untuk putus. Sebuah momen yang menurutku sangat…tidak seperti Taneda, untuk langsung berbicara dengan Meiko dan mengungkapkan segala uneg-uneg yang dia simpan selama ini. Perlu dicatat, ini pertama kalinya Taneda memulai perbincangan serius dengan Meiko; sebelum titik ini, kita diperlihatkan kalau Meiko suka banget curhat ke Taneda ataupun complaint, sementara sebaliknya Taneda sangat jarang mengutarakan keresahannya. Taneda adalah orang yang biasanya menghindari pembicaraan serius dengan bercanda dan berusaha bersikap tak acuh, tetapi setelah menulis Solanin, lagu perpisahan Taneda untuk dirinya yang dulu, ia akhirnya berbicara serius tentang kegelisahannya ke Meiko.

Walaupun, menurutku juga, stress yang Taneda tumpuk dari menerima kegelisahan Meiko dan juga tanggung jawab secara tiba-tiba setelah Meiko mengundurkan diri dari pekerjaannya yang Taneda keluarkan pada saat ini juga adalah ‘bibit buruk’ yang Taneda sebutkan di lirik Solanin. Bibit-bibit yang harus ‘dibuang’ dengan cara membicarakannya demi kelanjutan hubungan mereka berdua. Which is why I think this conflict is healthy for their relationship, soalnya kalau Taneda terus-terusan avoidant seperti sebelumnya, mereka nggak bisa maju ke depan sama sekali. Walaupun ya…aku ngerasa ngajak putus terlalu ekstrim dan nggak bertanggung jawab.

Tak lama setelah pertengkaran tersebut, Taneda pergi dari rumah berhari-hari. Hal ini membuat Meiko khawatir, dan seperti manusia berumur 24 tahun pada umumnya saat ditinggal tiba-tiba oleh kekasih setelah pertengkaran hebat, tentu saja hal ini membuat ia overthinking. Karena ini juga Meiko akhirnya mendengarkan Solanin untuk pertama kalinya…walaupun lagu itu membuatnya merasa lebih buruk; Soalnya, di permukaan lirik Solanin sangat bisa diinterpretasikan sebagai lagu perpisahan untuk seorang kekasih. Dengan kondisi mentalnya yang sedang sangat kacau saat itu, dia tidak bisa memikirkan interpretasi yang lain sama sekali.

Berbalik dengan dugaan Meiko, menurutku pertengkaran mereka berdua membuat Taneda berfikir ulang tentang keinginannya untuk putus; sebaliknya, dia berusaha sekali lagi untuk maju melewati kegagalan yang sebelumnya dengan masuk kembali ke tempat dia dulu bekerja agar bisa mendukung hidupnya bersama Meiko, sambil masih melanjutkan bandnya juga. Setelah lima hari hilang tanpa kabar, akhirnya Taneda menelpon Meiko untuk mengabarinya tentang hal ini, dan berjanji untuk langsung pulang ke rumah mereka berdua.

Menurutku pribadi, di titik ini, Taneda sudah sangat ditaklukkan oleh hidup. Menerima bahwa dia tidak bisa menghidupi dirinya dan Meiko lewat musik. Menerima bahwa dia harus bekerja full-time di pekerjaan yang tidak dia senangi. Menerima bahwa dia…normal, and that’s okay. Selama dia bisa bahagia bersama orang-orang yang dia sayangi. Setidaknya, itu yang ingin Taneda percayai sekarang.

Tetapi, secara tidak terduga, di tengah perjalanan pulang untuk bertemu kembali dengan Meiko…Taneda meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Inio Asano menggambarkan konflik dalam diri Taneda di detik-detik sebelum kematiannya; Apakah dia benar-benar bahagia dengan keadaannya saat ini? Apakah keputusannya untuk menerima keadaan dan membuang idealismenya sudah benar? Dengan pertanyaan-pertanyaan ini yang melewati pikirannya terus menerus, Taneda menangis di atas sepeda motornya sembari menancap gas, menerobos lampu merah, yang berujung ke kematiannya.

Di saat kematiannya, seolah segala beban telah terangkat dari pundaknya, Taneda berfikir betapa cerahnya langit di saat itu.

Kematian Taneda yang secara tiba-tiba menandakan akhir dari buku pertama Solanin. Tidak ada yang tahu kenapa Taneda memutuskan untuk menerobos lampu merah pada saat itu; Ini Asano sendiri, pada kata penutup yang ia tulis di akhir buku kedua mengatakan bahwa dia tidak begitu memikirkan alasan kenapa Taneda melakukan hal tersebut.

Yang pasti adalah kematian Taneda berperan sebagai tamparan bagi karakter-karakter di Solanin untuk ‘bangun’. Katou, sang mahasiswa tua yang masih belum lulus kuliah di tahun keenamnya (relatable, tapi aku harap aku nggak sampai di tahap itu), akhirnya lulus dan memulai mencari kerja. Billy mulai mempertanyakan apakah dia sudah puas dengan hidupnya sekarang. Meiko…adalah orang yang mungkin paling terdampak dengan kematian Taneda yang tiba-tiba.

Beberapa bulan setelah kematian Taneda, Meiko mulai bekerja lagi di suatu toko bunga. Kita ditunjukkan setelahnya bahwa pekerjaannya itu ya…cara Meiko untuk mengalihkan pikirannya yang selalu menyerang saat dia sendirian saat tidak melakukan apa apa. Membaca bagian ini di Solanin menyakitkan buatku karena…I’ve been there. Mungkin bukan karena alasan yang sama, tapi perasaan membusuk sendirian di kamar, hanya ditemani oleh “what-ifs” yang tidak terhingga dan pikiran-pikiran terburuk yang terus menyerang kepala adalah sesuatu yang lumayan sering aku alami akhir-akhir ini (nggak sehat, iya.) sehingga melihat Meiko seperti itu, dan cara Inio Asano menggambarkannya begitu menyakitkan. Rasanya seperti bercermin melihat diriku sendiri.

Untungnya, sama seperti aku yang memiliki lingkaran pertemanan yang siap menjadi support systemku di saat-saat yang sulit (love you guys, maaf curhat terus), Meiko juga memiliki banyak teman baik yang mendukungnya. Katou dan pacarnya, Ai, selalu siap menemani Meiko saat dia membutuhkannya. Billy juga menurutku menjadi orang penting yang membantu Meiko untuk bangkit lagi.

Menurutku, titik balik dari Meiko di buku kedua Solanin adalah saat dia bertemu dan berbicara dengan ayah Taneda dikala mereka berdua sedang membereskan barang-barangnya yang masih tertinggal di apartemen Meiko. Sembari membereskan barang-barang Taneda, mereka berdua banyak berbicara tentang sang mendiang, dan hal yang paling penting Ayah Taneda katakan ke Meiko adalah: kematian Taneda sama sekali bukan salah Meiko, justru sebaliknya berdasarkan percakapan Taneda dengan Ayahnya, Taneda menganggap Meiko sebagai seseorang yang sangat penting untuknya. Someone to live for. Juga, kalau Meiko masih merasa bersalah…beliau ingin Meiko terus mengingat anaknya. Sebagai bukti bahwa Naruo Taneda pernah ada.

Sejak saat pertemuan tersebut, Meiko punya satu tujuan baru: belajar bermain gitar dan melanjutkan band Taneda bersama Billy dan Katou, dan memainkan lagu-lagu yang Taneda tulis semasa hidupnya. Bagi Meiko, ini juga caranya untuk menjalin hubungan yang lebih dalam dengan Taneda selepas kematiannya, getting into his head melalui lagu yang ia tulis. Makannya, selama proses Meiko berlatih untuk bermain gitar Meiko juga menyadari arti sebenarnya dari Solanin yang Taneda tulis saat itu. Bagaimana Solanin sebenarnya bukan lagu perpisahan untuk kekasih seperti yang Meiko bayangkan, tetapi perpisahan Taneda untuk dirinya di masa lampau.

Setelah beberapa bulan Meiko berlatih di studio bersama Billy dan Katou, tiba-tiba ada berita dari Katou: Adik kelasnya memberikan tawaran untuk tampil di salah satu konser mereka sebagai pertunjukan pelengkap. Billy dan Katou awalnya enggan, tapi Meiko berpikiran lain: Ia ingin menyanyikan Solanin, lagu terakhir yang Taneda tulis sebelum kematiannya, di depan banyak orang. Akhirnya, mereka memutuskan untuk tampil di konser tersebut.

Beberapa chapter sebelum Meiko dan kawan-kawan tampil, kita diperlihatkan ke pikiran Meiko pada titik ini. Apakah dia masih sedih? Iya lah. Tapi di saat yang bersamaan, dia juga menyadari kalau dia tidak bisa selamanya berjalan tanpa arah seperti ini. Sudah 6 bulan terlewat sejak dia berhenti dari pekerjaannya, dan dia masih berada di tempat yang sama dengan 6 bulan lalu. She needs to move forward, dan baginya, untuk melakukan itu dia harus menyanyikan Solanin.

Dalam bab terakhir paling emosional yang aku pernah baca di antara manga manapun, Meiko akhirnya memainkan Solanin. Inio Asano begitu lihai dalam menonjolkan emosi tiap karakter melalu raut wajahnya, karena dalam panel-panel konser ini aku bagai bisa merasakan emosi tiap karakter; rasa sedih, tetapi juga senangnya Meiko karena dapat menyanyikan Solanin di depan orang banyak, dan juga keputusasaannya…karena dia tahu, dengan lagu ini, Meiko akhirnya melepaskan Taneda untuk dapat maju kedepan.

Plot Solanin di buku keduanya memang berjalan seperti manga yang berhubungan musik pada umumnya, dimana sang protagonis belajar untuk bermain gitar dari nol, dengan tampil di suatu pertunjukan sebagai klimaks ceritanya; tapi karena emosi yang sudah dibangun sejak buku pertama hingga sekarang, Solanin buku kedua meninggalkan dampak yang sangat berbekas buatku.

Mungkin karena aku memang gampang suka dengan apapun yang berbau dengan musik, tapi menggunakan suatu lagu dan bagaimana lagu tersebut dapat berarti hal yang berbeda-beda untuk orang yang berbeda (untuk hal ini, Taneda dan Meiko) dalam kondisi yang juga berbeda membuatku sangat emosional. Bagaimana Taneda menulis Solanin untuk meninggalkan dirinya yang ‘buruk’ agar ia dapat melangkah maju bersama Meiko, dan bagaimana untuk Meiko Solanin adalah katarsis yang ia perlukan untuk dapat melepas semua perasaannya dan juga Taneda agar dapat kembali melangkah maju…menuju masa depan yang tidak jelas, tentu saja, but isn’t that life?

Itu juga kenapa membaca kisah Meiko, Taneda, Katou, dan Billy membuatku merasa terdorong untuk bangkit lagi di saat aku merasa terpuruk. Kalau mereka bisa, bahkan setelah semua hal yang terjadi ke mereka…kenapa aku nggak? It wouldn’t be an exaggeration to say that this manga saved my life. Lumayan yakin aku bakal membusuk di kamar lagi hari ini dan nggak bikin progress di hidup sama sekali kalau tidak membaca Solanin waktu itu.

I’m really glad It didn’t come to that, though. Jadi ya, intinya…terima kasih Solanin!

--

--